May 30, 2007

Keagungan Al-Fatihah

[1:1] Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
[1:2] Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,
[1:3] Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,
[1:4] Yang menguasai hari pembalasan.
[1:5] Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
[1:6] Tunjukilah kami jalan yang lurus,
[1:7] (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat

Dalam kajian tafsir Ust. Hatta Syamsudin, Lc. yang alhamdulillah rutin saya ikuti, disampaikan ibroh (hikmah) dari surat Al-Fatihah yang mungkin jarang kita ketahui apalagi saya. Berikut ini saya sampaikan kembali ibroh Al-Fatihah, semoga bermanfaat.

Delapan Ibroh (hikmah) Surat Al-Fatihah:
1. Alloh menyukai pujian, maka kita dianjurkan untuk banyak memuji Alloh.
2. Pujian itu dikerenakan ada sebabnya, jika tidak ada sebabnya maka hal itu tidak berguna. Kita memuji Alloh karena Dialah Tuhan semesta alam, Yang Menguasai hari pembalasan.
3. Dalam berdoa kita memulai dengan memuji Asma Alloh kemudian Sholawat untuk Rosululloh.
4. Tidak menyembah dan tidak meminta pertolongan kepada selain Alloh.
5. Anjuran untuk senantiasa berdoa dan tadhorru' (kerendahan diri)
6. Mengakui nikmat-nikmat Alloh yang diberikan
7. Mencari contoh orang-orang yang baik
8. Anjuran untuk mengikuti jalan-jalan orang sholeh dan ancaman jika mengikuti jalan-jalan orang musyrik (yahudi dan nasrani)


Semoga dalam setiap lafal Al-Fatihah yang kita ucapkan, kita mampu menghayati dan memahami setiap ibroh dari tiap ayat ini. Wallahu'alam...

May 29, 2007

Doa Robithoh...

Ya Alloh...
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui
Bahwa hati-hati ini telah berkumpul
untuk mencurahkan mahabbah kepada-Mu,
Bertemu untuk taat kepada-Mu,
Bersatu dalam rangka menyeru-Mu,
Dan berjanji setia utnuk membela syariat-Mu,
Maka kuatkanlah ikatan pertaliannya...

Ya Alloh...
Abadikanlah kasih sayangnya,
Tujukkanlah jalannya,
Dan penuhilah dengan cahaya-Mu
yang tak akan pernah redup,
Lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman
dan keindahan tawakal kepada-Mu,
Hidupkanlah dengan ma'rifah-Mu,
Dan matikanlah dalam keadaan syahid dijalan-Mu...

Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung
dan sebaik-baik penolong, amien..
Dan semoga sholawat serta salam
senantiasa tercurah kepada Muhammad,
kepada keluarganya,
dan kepada semua sahabatnya...

* Doa yang semoga mampu menyemangati kita

May 24, 2007

Biografi Empat Pemimpin Dakwah Teladan (Bagian 3)

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Namanya adalah Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy Al-Harrany Ad-Dimasyqy. Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arab yang terletak antara sungai Dajlah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H.

Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinya. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda. Mereka hijrah tanpa seekor binatang tunggangan pun.

Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta’ala. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat selamat.

Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama. Jadi, punya kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya.

Pada usia 22 tahun, Ibnu Taimiyah sudah mengajar di perguruan Darul Hadits Al-Syukriyyah, sekolah ternama yang hanya mau menerima tenaga pengajar pilihan. Meski masih tergolong muda, kecerdasannya mampu membuat guru-guru besar sekolah itu geleng-geleng kepala. “Sungguh, siapapun mengakui kebrilianan guru saya yang usianya masih sangat muda itu,” ujar Ibnu Katsir, salah seorang siswa yang akhirnya juga menjadi ulama ternama.

Keluasan ilmu Ibnu Taimiyah juga terlihat dalam penguasaannya terhadap fiqh, hadits, ushul, fara’id, tafsir, mantiq, kaligrafi, hisab, bahkan olahraga. Penguasaan nahwu sharafnya juga luar biasa. Namun ilmu tafsir adalah disiplin ilmu yang paling digandrunginya. Bila sudah berkutat dengan tafsir, beliau tampak asyik sekali. Lebih dari seratus kitab Tafsir Al-Qur’an dipelajarinya. Tak heran bila mengkaji satu ayat saja, dia akan menelaah puluhan tafsir.

Ketika mengkaji tafsir, Ibnu Taimiyah tidak sekadar mengandalkan kecerdasan akal. Tapi juga kecerdasan spiritual. Dia akan selalu memohon kepada Allah swt. agar diberi kepahaman, pergi ke masjid dan bersujud. Wajar bila para pemikir yang hanya mengandalkan kemampuan akal, tanpa spiritual, senantiasa dikecamnya.

Para filosof Yunani juga menjadi sasaran tembaknya. Termasuk pemikir Islam yang bertaklid buta kepada filsafat Yunani, seperti Ibnu Sina. Sebab, menurut Ibnu Taimiyah, filsafat Yunani tak mampu menemukan rahasia ketuhanan. “Mereka adalah sebodoh-bodoh dan sejauh-jauh manusia dalam mengetahui hal-hal yang benar. Komentar Aristoteles, guru mereka, masih terlalu sedikit dan banyak kesalahan. Para filosof telah tertipu dalam mengetahui dan mengenal Allah swt.”

Ibnu Taimiyah termasuk sedikit di antara ulama yang istiqamah memegang prinsip. Akibat keteguhannya itu, ia harus keluar masuk tahanan. Sampai akhir hayatnya ia tetap dalam posisinya seperti itu. Berkali-kali ia diisolir, berkali-kali diintimidasi, tapi ia tak goyah untuk mempertahankan pendiriannya yang diyakini kebenarannya. Tak sejengkalpun ia mundur. Dari lisan Ibnu Taimiyah akhirnya muncul kata-kata mutiara: “Penjaraku adalah berkhalwat, pembuanganku adalah tempat hijrahku, dan pembunuhanku adalah syahid.”

Di antara yang bisa menandai seorang ulama adalah kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsu. Akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak dijumpai ulama yang mengumbar hawa nafsunya. Akibatnya, jika mereka berfatwa, fatwanya cenderung mengikuti hawa nafsu. Baik itu hawa nafsunya sendiri, maupun hawa nafsu orang lain. Hawa nafsu orang lain yang paling banyak mempengaruhi ulama dalam sejarah adalah hawa nafsu para penguasa yang diharapkan hadiah-hadiah dan ditakuti ancaman tindakannya.

Ibnu Taimiyah adalah salah seorang ulama yang langka. Dalam mempertahankan keyakinannya, banyak pihak yang kagum. Namun demikian yang benci juga banyak. Sewaktu Ibnu Taimiyah menolak keras paham wihdatul wujud yang diusung Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi, banyak yang marah besar. Pada 5 Ramadhan 705 H, datanglah surat panggilan dari penguasa Mesir dan Syam, Sultan An-Nashir Muhammad bin Qulaun. Rupanya ini hanyalah jebakan para pengikut Ibnu Arabi. Buktinya, Ibnu Taimiyah ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan selepas ceramah di sebuah majelis.
Beberapa bulan kemudian ada tanda-tanda hendak dibebaskan. Syaratnya, Ibnu Taimiyah harus mencabut sikap kontranya terhadap paham akidah penguasa Mesir. Namun tawaran itu ditolak mentah-mentah. “Ya Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka,” begitu jawaban Ibnu Taimiyah mengutip ayat 33 surat Yusuf.
Meski dipenjara, Ibnu Taimiyah tetap beraktivitas sebagaimana biasa. Ketegaran pribadinya mendorong terus beramar ma’ruf nahi munkar. Sewaktu para narapidana sibuk bermain catur, undian, judi, dan lain-lain sehingga melalaikan shalat, Ibnu Taimiyah tak segan-segan menegurnya. Dia perintahkan secara tegas agar mereka menjaga shalat, senantiasa bertasbih, istighfar, dan berdoa. Berbagai amalan ibadah diajarkan, sehingga para penghuni penjara itu larut dalam kegiatan agama. Bahkan banyak narapidana yang sebenarnya sudah bebas tapi memilih tetap tinggal bersama Ibnu Taimiyah. Akhirnya pada 23 Rabi’ul Awwal 707 H dia bebas berkat pertolongan seorang pejabat Arab.

Begitu bebas, Ibnu Taimiyah bukannya kembali ke Damaskus tetapi memilih tinggal di Mesir yang banyak dihuni orang-orang yang memusuhinya. Dia tetap aktif mengajar, memberikan nasihat, ceramah, dan membentuk majelis-majelis. Tidak lama kemudian beberapa sekolah di Kairo rutin memberi kesempatan ceramah, di antaranya Madrasah Ash-Shalihiyyah. Dari situlah kalangan ulama Mesir mulai terbuka matanya, bahwa ternyata Ibnu Taimiyah tidak sesat seperti mereka duga.

Dalam waktu yang bersamaan, orang-orang yang dengki terus berupaya memasang perangkap. Celakanya, pemerintah Mesir termakan agitasi itu. Ibnu Taimiyah diberi ultimatum: kembali ke Damaskus, tetap tinggal di Mesir dengan syarat tidak mendakwahkan ajarannya kepada masyarakat, atau dipenjara.
Ternyata pilihan ketiga yang dipilihnya: penjara. Namun murid-muridnya menghalangi, dan menyarankan agar Ibnu Taimiyah kembali ke Damaskus. Demi menjaga hati pengikutnya, pada 18 Syawal 770 H Ibnu Taimiyah kembali ke Damaskus. Namun sebentar saja, cuma beberapa jam di Damaskus. Penjara lebih ‘dirindukannya’. Meski begitu Ibnu Taimiyah tidak bisa serta merta masuk penjara sebab rupanya kalangan qadhi dan ulama Mesir berselisih pendapat tentang penahanan itu. Alasan memenjaranya tidak jelas. Melihat pertentangan pendapat itu, Ibnu Taimiyah akhirnya mengambil keputusan sendiri: masuk penjara.

Meski di penjara, Ibnu Taimiyah tetap dinanti-nanti fatwa dan nasihatnya. Berbondong-bondong orang menjenguknya. Pemandangan yang sungguh ganjil, sehingga akhirnya Ibnu Taimiyah dibebaskan. Murid-muridnya di Madrasah Ash-Shalihiyyah dan beberapa majelis kajian dapat kembali mendengar ceramah-ceramahnya.
Tak lama kemudian terjadi pergeseran konstalasi politik di Mesir. Sultan An-Nashir Muhammad bin Qulaun yang mulai simpati kepada Ibnu Taimiyah turun takhta, diganti Ruknuddin Bibrus Al-Jasynaker. Sementara Syaikh Nashr Al-Munbajji Al-Murabbi Ar-Ruhi ulama yang berlawanan akidah dengan Ibnu Taimiyah menjadi penasihat raja. Lahirlah keputusan-keputusan politik yang memojokkan ulama yang berseberangan dengan ‘ulamanya’ penguasa. Ibnu Taimiyah pun dibuang ke Iskandariyyah (akhir Shafar 709 H) dengan dalih menghindarkan Mesir dari disintegrasi.

Di tempat barunya, Ibnu Taimiyah tetap kebanjiran pengikut. Rumahnya di Iskandariyyah yang luas, bersih, dan indah terbuka 24 jam untuk siapa saja. Banyak kalangan pembesar maupun fuqaha yang datang meminta nasihat spiritual kepadanya. Sultan An-Nashir Muhammad bin Qulaun yang akhirnya kembali memimpin Mesir dan Syam (akhir 709 H), berkenan mengangkat Ibnu Taimiyah sebagai penasihat spiritualnya.
Sampai akhir tahun 726 H, Ibnu Taimiyah berkonsentrasi pada pendidikan, menulis, ceramah-ceramah, dan mengeluarkan fatwa. Fatwa yang cukup terkenal adalah larangannya menziarahi kubur, termasuk kubur Rasulullah saw. Ibnu Taimiyah bersandar pada sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim, “Allah melaknati orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid.”

Terang saja banyak kalangan merasa gelisah, sebab Rasulullah saw. adalah manusia suci yang selama ini diagungkan. Banyak ulama yang menganggap fatwa itu ‘tidak sopan’ dilihat dari segi kedudukan Nabi saw. Akhirnya pemerintah turun tangan, mengeluarkan surat perintah penangkapan atas diri Ibnu Taimiyah (7 Sya’ban 726 H).
Namun rupanya pemenjaraan yang ketiga kali itu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang selama ini telah membencinya. Murid dan pendukung Ibnu Taimiyah dianiaya. Beberapa di antaranya dimasukkan penjara, ada juga yang dinaikkan di atas keledai lalu diarak beramai-ramai dan dimaki-maki. Bahkan Syamsuddin Muhammad bin Qayyim Al-Jauziyyah yang paling getol membela Ibnu Taimiyah dipenjara seumur hidup dan meninggal di penjara.

Seperti sebelumnya, penjara tak menghalangi Ibnu Taimiyah terus berkarya. Tentu ini mengkhawatirkan pihak penguasa. Tanggal 9 Jumadil Akhir 728 H, pemerintah merampas semua alat baca dan tulis di penjara. Hebatnya, Ibnu Taimiyah terus menulis dengan memanfaatkan kertas-kertas sampah dan arang sebagai alat tulisnya.
Satu hal yang tak bisa dilawannya, kondisi fisik yang digerogoti usia. Dia akhirnya jatuh sakit. Berita itu segera tersebar keluar penjara sehingga beberapa pejabat datang menjenguknya seraya minta maaf atas pemenjaraan itu. Terhadap mereka, dengan arif ia berkata, “Sungguh aku telah menghalalkan orang-orang yang memusuhiku karena mereka tidak tahu bahwa aku dalam kebenaran. Aku juga memaafkan Sultan An-Nashir yang memenjarakanku. Pendeknya, aku telah memaafkan semua orang yang memusuhiku, kecuali orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya.”

Pada malam 22 Dzulqa’idah 728 H, ulama ini meninggal dunia. Penduduk negeri Mesir dan Syam gempar. Sewaktu jenazah Ibnu Taimiyah dimandikan, orang berdesak-desakan ingin melihat dan menghormatinya. Sewaktu dishalatkan di Masjid Jami’ Al-Amawi, warga semakin banyak. Pasar kosong. Toko dan warung-warung tutup. Banyak di antara mereka yang lupa makan dan minum. Kumpulan manusia itu menimbulkan bergemuruh. Ada yang menangis, meratap, memuji, dan mendoakannya. Orang yang memikul keranda Ibnu Taimiyah kesulitan bergerak, hanya bisa bergeser sejengkal demi sejengkal, itupun maju mundur. Sebelum Ashar, jenazah itu dikebumikan di kubur Ash-Shufiyyah. Di kuburan itu sebelumnya telah dimakamkan beberapa ulama seperti Ibnu Asakir, Ibnu Shalah, Ibnul Hujjah, dan Imaduddin bin Katsir.

Di belahan bumi lain, kaum muslimin seantero dunia melaksanakan shalat ghaib. Timur Tengah, Afrika, sampai Yaman dan Cina, semua larut dalam keharuan atas meninggalnya Ibnu Taimiyah. Meski jasadnya telah tiada, pemikirannya telah hidup sampai saat ini. Al-Hafizh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Abdul Hadi, Ibnu Katsir, dan Al-Hafizh Ibnu Rajab adalah di antara murid-murid yang terus berupaya menghidupkan semangat perjuangannya.

May 15, 2007

Sebuah Pengharapan

Illahi Robbi...
Bersimpuh diri ini pada-Mu
Ampuni dosa-dosa hamba
Ringankan langkah kaki menuju-Mu
Kuatkan hati dalam setiap ketentuan-Mu

Wahai Dzat yang memiliki jiwa dan raga ini
Teguhkan hati ini dalam dien-Mu
Jauhkan diri ini dari prasangka buruk pada-Mu
Jadikan setiap amal tertuju pada-Mu

May 05, 2007

Biografi Empat Pemimpin Dakwah Teladan (Bagian 2)

2. Imam Ahmad bin Hanbal
Banyak orang yang mengenal bahwa imam Ahmad bin Hanbal adalah ulama ahli hadits dan fiqh. Memang beliau adalah ahli hadits. Kitabnya yang terkenal bernama Musnad Imam Ahmad. Imam Ahmad disamping hafal Al-Qur’an semenjak kecil, beliau juga hafal banyak hadits. Kitabnya, Musnad Imam Ahmad, terdiri sekitar 40.000 hadits yang ditulis berdasarkan hafalannya. Beliau hafal satu juta hadits dan menghafalnya seperti hafal Al-Fatihah. Beliau berfatwa 60.000 masalah dengan menggunakan firman Allah dan sabda Rasulullah saw.

Imam Ahmad juga ahli fiqh. Bahkan, termasuk salah satu dari empat ulama besar yang menjadi rujukan dalam bidang fiqh (madzhab arba’ah). Imam Ahmad belajar fiqh kepada Imam Asy-Syafi’i. Tentang keutamaan Imam Ahmad, gurunya imam Asy-Syafi’i mengatakan, ”Saya keluar dari Baghdad, demi Allah saya tidak meninggalkan seseorang yang lebih bertakwa pada Allah, lebih ‘alim tentang ajaran Allah, lebih zuhud karena Allah, lebih wara’ dari yang diharamkan Allah, dan yang paling saya cintai melebihi Imam Ahmad bin Hanbal.”

Ujian yang menimpa Imam Ahmad sungguh sangat besar, yaitu ujian dan fitnah penciptaan Al-Qur’an. Fitnah tentang penciptaan Al-Qur’an –yaitu pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk– muncul pertama kali pada masa Al-Ma’mun. Pendapat ini berasal dan diyakini oleh penganut paham Mu’tazilah, dimana Raja Al-Ma’mun merasa kagum dengan pendapat ini dan mengikutinya. Lebih dari itu Al-Ma’mun menggunakan pedangnya untuk memaksa rakyat mengikuti pendapatnya, dan yang menolak akan dibunuh. Al-Ma’mun membunuh sekitar 1.000 ulama yang menolak mengatakan Al-Qur’an itu makhluk. Dan penjara penuh dengan para ulama.

Imam Ahmad berada di barisan paling depan yang menolak bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dan konsekuensinya imam Ahmad dipanggil ke istana. Imam Ahmad berkata, ”Saya diambil tengah malam pada saat saya shalat. Tangan dan kaki saya diborgol, dan berat borgol itu melebihi berat badan saya. Saya dinaikkan di atas kuda, saya berusaha pegangan tetapi saya tidak bisa. Saya hampir jatuh tiga kali, tetapi setiap mau jatuh saya membaca; Ya Allah peliharalah aku. Maka Allah menjaga saya sehingga tidak jatuh. Tatkala saya dimasukkan ke dalam penjara, muka saya diseret. Saya sampai di penjara di akhir malam. Saya tidak tahu di mana letak kiblat dan saya tidak tahu di mana saya waktu itu. Ketika saya menjulurkan tangan, tiba-tiba ada air yang sejuk, maka saya berwudhu dan shalat Fajar.

Ketika pagi saya dibawa dengan kuda untuk kedua kalinya, dan saya belum makan. Hampir saja saya jatuh karena sangat laparnya. Saya dimasukkan ke tempat Mu’tashim. Tatkala saya masuk ia mencabut pedang, ditempelkan ke leherku dan berkata, “Wahai Ahmad, demi Allah saya mencintaimu seperti saya mencintai anaknya Harun Al-Rasyid (Al-Ma’mun). Maka janganlah engkau tumpahkan darahmu di hadapanku.” Kemudian ia memaksa kepadaku agar mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Imam Ahmad menolak, maka Mu’tasim menyuruh tukang pukulnya untuk memukul Imam Ahmad. Imam Ahmad dicambuk 160 kali, sampai beliau pingsan. Kemudian beliau siuman kembali. Imam Ahmad dipaksa lagi untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, tetapi beliau tetap menolak, sehingga dicambuk lagi berulang-ulang kali. Sampai punggungnya babak belur karena seringnya dicambuk.

Imam Ahmad kembali dinaikkan ke atas kuda dan dimasukkan ke dalam penjara. Beliau dipenjara selama 28 bulan. Selama di penjara beliau selalu berpuasa dan makanan untuk berbuka cuma roti dan air. Itulah yang dimakan Imam Ahmad selama 28 bulan. Dan terakhir Imam Ahmad dipaksa lagi untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, beliau tetap menolak. Sampai akhirnya mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan bosan, kemudian mengembalikan Imam Ahmad ke rumahnya dengan keadaan luka parah. Berkata putranya, Abdullah, ”Ayah kami pulang kembali ke rumah malam hari setelah di penjara, dan langsung jatuh sakit karena luka parah.”

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan bergantilah kekuasaan dari Mu’tashim kepada Al-Mutawwakil. Mutawwakil adalah pemimpin yang menycintai kebenaran dan sunnah. Dan suatu hari Al-Mutawwakil datang ke Imam Ahmad membawa harta kekayaan dan emas. Maka menangislah Imam Ahmad dan berkata, ”Demi Allah, saya lebih takut akan fitnah kenikmatan melebihi takut saya dari fitnah musibah.” Dan Imam Ahmad menolak semua itu. Begitulah Imam Ahmad. Beliau sakit selama 9 hari kemudian meninggal. Manusia berduyun-duyun bertakziyah mendoakan Imam Ahmad. Yang datang takziyah sekitar 800.000 orang lelaki dan 60.000 perempuan. Dan pada saat beliau meninggal, masuk Islam orang-orang Yahudi, Kristen, dan Majusi sekitar 20.000 orang.